Selasa, 30 Oktober 2012

KONFLIK SOSIAL


Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teorikonflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

1.      Teori Konflik Karl Marx
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Konflik merupakan pertentangan antara kelas borjuis melawan kelas proletar yang memperebutkan sumber-sumber ekonomi (alat-alat produksi).
Karl Marx menjelaskan bahwa masyarakat pada abad ke-19 di Eropa, terbagi menjadi 2 kelas sosial yakni
a. Borjuis       :   pada jaman kolonialisme kaum pemilik modal yaitu mereka yang memiliki alat-alat kerja/produksi misalnya pabrik, mesin, dan tanah. Tetapi pada jaman modern, kaum borjuis adalah mereka yang memiliki knowledge/keahlian khusus.
b. Proletar      :   kaum pekerja miskin.
Dalam sistem produksi kapitalis kedua kelas tersebut saling ketergantungan namun tidak seimbang. Kelas proletar tidak dapat hidup jika tidak bekerja. Sedangkan kelas borjuis meskipun pabriknya tidak berjalan, ia masih dapat bertahan dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja yakni dengan menjual pabriknya. Dengan demikian kelas borjuis adalah kelas yang kuat, sedangkan kelas proletar adalah kelas yang lemah. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Dan pemilikan alat-alat produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx juga menjelaskan bahwa seluruh keteraturan dalam masyarakat proletar disebabkan adanya pemaksaan oleh para penguasa (borjuis). Faktor penyebab konflik adalah karena terjadi ketidak setaraan sosial yang tinggi antara kaum borjuis & proletar.
Kelemahan teori Marx  : Teori kelas sosial dan konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri) dan tidak lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Hal ini dikarenakan pekerjaan masyarakat semakin heterogen dan hak-hak dan kemakmuran masyarakat mulai mengalami peningkatan.

2.      Teori Konflik Ralf Dahrendorf.
Ralf Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
Dahrendorf membedakan kelompok yang terlibat konflik dalam dua tipe:
1.      Kelompok semu (quasi group), merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan.
2.      Kelompok kepentingan (interest group), yakni kelompok kepeningan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.
Kelompok kepentingan  mempunyai struktur, organisasi, program tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timblnya konflik dalam maysarakat.

3.      Teori Konflik Lewis A Coser
Coser membedakan konflik dalam dua bentuk :
1.      Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  1. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain - lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidak mampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Salah satu konsep Coser adalah katup penyelamat (savety-valve). Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan - hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam.  Katup Penyelamat  ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.  Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.  Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser bahwa Lewat Katup penyelamat itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan system untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptaan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.

4.      Teori Konflik John Galtung
Galtung berusaha untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai terjadinya konflik. Kekerasan dapat terjadi di mana saja. Mulai dari yang berkapasitas besar (perang), kekerasan di keluarga, kekerasan dijalanan, hingga kekerasan di sekolah . Konsep  Segitiga Konflik Galtung memetakan tipe-tipe kekerasan secara umum menjadi tiga kategori:
1.      direct violence (behavioral)
2.      cultural violence (social constructs)  
3.      structural violence.
Masing-asing dari kategori konflik diatas merepresentasikan masing-masing sudut dari “the violence triangle” (segitiga kekerasan). Hal ini oleh Galtung dijelaskan dalam “built-in vicious cycles” (struktur bagian siklus kekerasan).
Galtung membagi struktur kekerasan ke dua kategori, yaitu :
1.      visible (nampak/konkrit) adalah kekerasan langsung yang terjadi dengan ditandai
akibat-akibat yang kongkrit seperti pembunuhan dan penghancuran.
2.      invisible (tak nampak/abstrak) adalah konflik yang melibatkan aspek kultural dan struktural.
kekerasan kultural dan struktural menyebabkan kekerasan langsung yang melibatkan aktor kekerasan yang memicu kekerasan struktural dengan menggunakan kultur untuk melegitimasi penggunaan kekerasan sebagai instrumenya.
Kekerasan ini terjadi karena “legitimasi” kultur yang digerakkan oleh aktor kekerasan melalui kekuatan struktur masyarakat sehingga terciptalah kekerasan langsung . Konflik dapat terjadi melalui kombinasi tiga komponen (Kombinasi ABC) yaitu
1.      attitude (sikap/berupa kebencian),
2.      behavior (perbuatan/berupa kekerasan), dan
3.      contradiction (isu)
Konflik memiliki “siklus hidup”-nya. Siklus konflik dapat diamati mulai sebelum terjadinya konflik, pada saat terjadinya konflik, dan setelah terjadinya konflik.
Pada fase 1 (sebelum terjadinya konflik) digambarkan bahwa violence (kekerasan) dapat berakar pada violent cultures (budaya kekerasan) yang menjustifikasi terhadap kekerasan itu sendiri di dalam violent structural (struktural masyarakat yang membenarkan kekerasan) yang berbentuk represif, ekploitasi, dan pengasingan yang diarahkan untuk memecah kesatuan suatu masyarakat. Violent actor (aktor kekerasan) mengumpulkan kekuatan untuk menunjukkan identitas dirinya dengan cara melakukan penyerangan terhadap kelompok lainnya. Dengan kata lain bahwa budaya kekerasan yang digerakkan oleh struktural yang melibatkan aktor kekerasan sebagai pengendalinya
Pada fase 2 (selama terjadinya konflik) digambarkan bahwa konflik yang terjadi sangat merugikan dan jika dibiarkan lebih lama akan menjadi semakin sulit dihentikan. Oleh karena itu penanganan konflik akan semakin baik jika diselesaikan lebih cepat. Hal ini dikarenakan konflik dilakukan untuk menunjukkan harga diri tanpa memperhitungkan potensi kemenangan atau kekalahan pada kedua belah pihak yang bertikai. Penanganan konflik dapat dengan cara melibatkan militer, polisi, keahlian non violent atau mediasi.
Pada fase 3 (setelah terjadinya konflik) adalah fase dimana situasi ini harus ditangani dengan tepat. Hal ini dikarenakan pada fase ini terdapat konseksuensi pasca kekerasan yang berupa trauma, nafsu balas dendam, dsb.

Senin, 29 Oktober 2012

SOSIOLOGI GENDER


Modul : 1
Pengertian Gender dan Sosialisasi Gender.
Kegiatan Belajar : 1
A.    Pengertian Gender.

Dalam memahami pengertian gender kita harus membedakan antara gender dan jenis kelamin. Secara  biologis jenis kelamin ditentukan oleh jumlah kromosom yang ada pada saat pembuahan. Simon Beauvoir dalam bukunya “the second sex” (1975) menyatakan bahwa jenis kelamin ditentukan oleh kromosom. Hegel dalm “philosophy of nature” menuturkan bahwa kedua sel kelamin ini tetap berbeda dimana laki-laki adalah makluk yang aktif dan perempuan makluk yang pasif karena ia tetap berkembang dalam kesatuanya.
Simon Beauvior menjelaskan bahwa “laki-laki” dinamai self (diri) dan perempuan dinamai others (liyan). Hal ini dapat diartikan bahwa secara budaya perempuan tidak esensial dan laki-laki esensial. Jary and Jary dalam “Dictionary of Sociology” menyatakan bahwa gender memiliki dua pengertian :
1.      Kata gender biasa digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan anatomi jenis kelamin.
2.      Para sosiolog dan psikolog mengartikan gender kedalam pembagian “masculine” dan “feminine” berdasarkan atribut yang melekat secara sosial dan psikologi sosial.
Para Antropolog memaknai gender secara kultural dan historis seperti makna, interpretasi dan ekspresi dari kedua varian diantara berbagai kebudayaan.
Dalam konsep gender melekat sifat-sifat yang dikonstruksi secara sosial misal laki-laki dianggap kuat, agresif dan rasional. Konstruksi sosial yang membedakan sifat laki-laki dan perempuan.

B.     Perbedaan Gender.

Perbedaan secara fisik dan kemudian ditarik ke perbedaan secara sosial budaya menimbulkan pertanyaan mengenai perbedaan secara psikologis. Apakah perbedaan psikologis laki-laki dan perempuan juga diwariskan secara alami ?.
Pengikut teori nature berpandangan bahwa perbedaan psikologis disebabkan oleh faktor biologis sedangkan pengikut teori nurture menyatakan bahwa perbedaan ini terbentuk karena proses belajar melalui lingkungan hidupnya.
Maria Mies mengemukakan bahwa pembagian kerja laki-laki dan perempuan sangat bersifat patriarkat karena didasarkan pada pemisahan struktur dan subordinasi manusia  yaitu laki-laki terpisah dengan perempuan dimana perempuan pada posisi subordinasi. Menurut Blood dan Wolfe dalam bukunya “Husband and wives” berpendapat bahwa  pembagian kerja berdasarkan sex ada dua pola yaitu pola tradisional dan pola kontemporer. Dalam konsep tradisional perempuan bekerja didalam rumah sedangkan dalam konsep kontemporer suami istri bekerja sama saling komplementer.
Konstruksi sosial gender yang  berkembang secara evolusional dan diperkuat dengan ajaran agama telah mempengaruhi secara biologis, misal perempuan telah dikonstruksi bersifat lemah lembut maka perempuan dididik dan disosialisasi sesuai sifat gender yang ditentukan masyarakat.

C.       Peran Gender

Terdapat perbedaan antara peran dan status dimana peran menunjukan penampilan (aktif) sedangkan status menunjukan posisi (pasif). Peran gender laki-laki diwariskan dari status biologisnya yang memiliki fisik kuat sehingga ditugaskan pada pekerjaan sektor publik (diluar rumah). Bagi perempuan aktifitas mengandung dan melahirkan merupakan aktifitas alamiah tetapi bagaimana dengan peran sebagai ibu rumah tangga ?
Menurut Julia Cleves Mosse istilah “ibu” adalah istilah sosial yang  menjadi milik bahasa dan dikonstruksi oleh manusia. Selanjutnya Mosse menyatakan bahwa istilah “ibu rumah tangga” dalam masyarakat industri memiliki makna sebagai konsumen. Sebelumnya rumah tangga sebagai tempat produksi tetapi dengan perkembangan industri maka proses produksi diambil alih oleh pabrik dan rumah tangga sebagai konsumen.
Zaretsky (1976) menjelaskan bahwa pada masyarakat kapitalis sektor masyarakat dikaitkan dengan sistem pasar tetapi rumah tangga merupakan sektor pribadi yang tidak dicampuri sistem pasar sehingga perempuan yang bekerja disektor rumahtangga tidak memiliki nilai pasar sehingga secara ekonomis maupun psikologis perempuan tergantung pada laki-laki.


Kegiatan Belajar : 2                Sosialisasi Gender

A.    Sosialisasi Gender dalam kelompok primer

Charles Horton Cooley menyatakan bahwa karakteristik dari kelompok primer adalah: intim, face to face dan kerja sama. Disamping itu juga keharmonisan dan kecintaan. Kelompok primer meliputi : keluarga, kerabat dan ketetanggaan.
Menurut Jessie Bernard dalam bukunya “female world” (1981) laki-laki dan perempuan masuk ke dunia yang berbeda dalam satu komonitas yang sama (tunggal) yaitu dunia pink (pink world) bagi perempuan  dan dunia biru (blue world)  bagi lak-laki. Pembedaan “dunia” ini juga berpengaruh terhadap pola asuh anak dalam keluarga. Hal ini menggambarkan bahwa perbedaan peran gender yang terjadi dalam masyarakat diakibatkan oleh proses sosialisasi yang salah satunya sosialisasi dalam keluarga (kelompok primer). Keluarga merupakan tempat sosialisasi awal dimana anak akan menerima dan mengadopsi nilai yang diberikan orang tuanya. Proses  pembedaan gender tidak berhenti pada lingkup keluarga saja tetapi juga pada lembaga sosialisasi selanjutnya seperti teman sepermainan, sekolah dan lingkungan kerja.

B.     Sosialisasi Gender pada kelompok sekunder.

Sosialisasi sekunder misalnya :  komunitas tempat kerja, kelompok hobi / olah raga, organisasi formal, dll. Pada umumnya perempuan banyak terserap pada pasar tenaga kerja sekunder yang sesuai dengan kodrat perempuan. Faktor penyebabnya menurut Walby adalah
1.      Kemampuan kerja perempuan rendah.
2.      Secara sosial perempuan berbeda dengan laki-laki.
3.      Perempuan memiliki komitmen rendah dalam hal karier.
4.      Perempuan dinilai tidak terlalu berambisi mengejar upah tinggi.
Hal diatas menggambarkan bahwa “female world”  tetap berbeda dengan “male world” artinya ada ranah yang memang tidak bisa dimasuki oleh perempuan demikian sebaliknya. Jika ada peran gender yang tidak sesuai dengan konstruksi sosial maka akan di kategorikan sebagai perilaku menyimpang.



Modul : 2

Ketidak adilan dan Kekerasan Gender

Kegiatan Belajar  : 1

A.    Marginalisasi Perempuan

Perbedaan peran gender adalah ketika laki-laki dan perempuan menjalankan peran sesuai dengan konstruksi masyarakat berdasarkan pemahaman gender misal laki-laki menjalankan peran public ( diluar rumah ) dan perempuan menjalankan peran domestic (di dalam rumah ). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur sosial dimana laki-laki maupun perempuan akan menjadi korban dari sistem tersebut sebagai akibat konsep masyarakat terhadap gender contoh perempuan hanya diberi peran pelengkap  (subordinat) dan laki-laki diberi peran utama (ordinat).
Menurut Mansour Fakih ketidakadilan gender lainya adalah marginalisasi (pemiskinan) ekonomi, suordinasi politik, pembentukan stereotipe (pelabelan) negatif terhadap perempuan, kekerasan, beban kerja serta sosialisasi ideologi peran gender.
Dalam konteks gender marginalisasi memiliki arti akibat dari pemahaman terhadap jenis kelamin tertentu menyebabkan posisinya termarginalisasi sehingga manjadi miskin. Pada wilayah ekonomi marginalisasi terlihat pada keterbatasan dalam mengakses dan berpartisipasi dalam sumberdaya ekonomi,kesempatan kerja dan modal. Kesimpulanya marginalisasi perempuan disebabkan oleh :
1.      Pemahaman bahwa wilayah kerja perempuan adalah wilayah domestik sedang wilayah publik milik laki-laki.
2.      Adanya budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki lebih superior dari perempuan.

B.     Sub ordinasi perempuan.

Peran perempuan pada posisi sub ordinat artinya posisi perempuan sebagai pelengkap terhadap posisi laki-laki sebagai pemegang posisi ordinat. Posisi sub ordinat perempuan dapat dilihat pada :
1.      Pengambilan keputusan dalam keluarga dimana laki-laki (suami) sebagai pengambil keputusan.
2.      Dalam tatanan sosial budaya masyarakat ada kecenderungan lebih mengutamakan laki-laki (prinsip patriakhi).
3.      Pada wilayah hukum dan politik sub ordinasi perempuan terjadi pada akses dan partisipasi hukum dan politik. Banyak peraturan yang bersifat diskriminatif gender.

C.  Stereotipe Perempuan.

Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang disebabkan oleh pemahaman sifat fisik yang nampak maupun dari sudut pandang gender. Segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan akan menimbulkan ketidakadilan.

Kegiatan Belajar : 2    Kekerasan Gender.

Kekerasan yang berbasis gender adalah kekerasan yang dilakukan karena pemahaman masyarakat terhadap jenis kelamin tertentu dianggap lebih kuat atau lebih lemah. Kekerasan gender muncul diakibatkan oleh ketidaksetaraan kekuatan gender yang ada dalam masyarakat. Macam-macam kekerasan gender :
1           Kekerasan secara fisik.
2           Kekerasan gender secara psikologis.
               Kekerasan gender secara simbolis.
Kekerasan yang disebabkan bias gender disebut : gender-related violence. Sedangkan kekerasan simbolik menurut Yasraf A  Piliang (2002) adalah bagaimana bentuk dan cara sebuah realitas kekerasan dipresentasikan didalam berbagai media dan presentasi tersebut merupakan bentuk kekerasan. Dalam konteks media pemberitaan terdapat dua bentuk kekerasan simbol :
1.      Kekerasan dalam mekanisme simbol yaitu relasi sosial politik atau ideologis dibalik simbol.
2.      Kekerasan pada makna simbol dan tanda bahasa yang digunakan.
Kekerasan pada mekanisme simbol berupa pemaksaan simbol dan maknanya dengan memanfaatkan otoritas kekuasaan sedangkan kekerasan pada makna / isi simbol berupa “agresifitas” yang terkandung dalam simbol tersebut misal dalam bentuk tulisan, gambar, bahasa verbal, film, game yang mendung muatan kekerasan gender.

Modul  : 3
Teori Sosiologi tentang Gender

Kegiatan belajar :1      Teori Fungsional tentang gender.

A.    Teori Fungsional : Talcott Parsons.
Perbedaan gender memberi konstribusi dalam integrasi masyarakat tradisional. Perempuan memelihara kohesi internal rumah tangga sedangkan laki-laki menghubungkan keluarga dengan dunia yang lebih luas terutama melalui partisipasi dunia kerja (Macionis, 1999). Menurut Parsons peran laki-laki yang demikian itu dinamakan : instrumental.
Selanjutnya Parsons menjelaskan bahwa masyarakat menjalankan perilaku gender melalui variasi alat-alat kontrol sosial misal orang akan masuk dalam definisi kultural gender yang memproduksi identitas gender yang akan dimiliki oleh mereka artinya sejak lahir mereka sudah memiliki fondasi tentang peran yang akan dijalani dalam masyarakat. Kultur merupakan kekuatan utama yang mengikat sistem tindakan disamping itu kultur juga menengahi interaksi antar aktor, mengintgrasikan kepribadian dan menyatukan sistem sosial. Jadi didalam sistem sosial, sistem diwujudkan dalam nilai dan norma serta sistem kepribadian (Ritzer,2004). Norma kultur terinternalisasi pada aktor dan terinstitusionalisasi pada sistem sosial artinya pengaturan kebutuhan individu dipengaruhi oleh orientasi dan harapan peran.
Kesimpulan, analisis struktural fungsional menekankan bagaimana maskulinitas dan feminitas didefinisikan secara komplementer.

B.     Teori Fungsional : Miriam Johnson.

Hal yang penting bagi teoritisi fungsional dalam memahami gender adalah bagaimana aplikasi pandangan Johnson atas konsep Parsons. Johnson mengkaji temuanya tentang ketimpangan gender dalam struktur keluarga patriarkhis. Gender terintegrasi kedalam masyarakat baik secara kultur maupun moralitas. Di Indonesia norma tradisional juga memperkuat dan melanggengkan fungsi-fungsi komplementer perempuan dan laki-laki saling melengkapi.

Kegiatan Belajar  : 2  Teori Konflik tentang Gender.

Analisis teori konflik  tentang gender berpusat pada isu kekuasaan akibat adanya realitas perbedaan gender secara historis yang menguntungkan laki-laki. Sistem patrarkhi yang menempatkan perempuan sebagai subyek yang terdiskriminasi. Dalam pandangan teori konflik gender bukan dipandang sebagai kohesi sosial tetapi sebagai konflik sosial dimana pihak laki-laki memproteksi hak istimewa sedangkan perempuan melawan status quo. Hal ini berarti peran laki-laki dan perempuan tidak saling melengkapi.

A.    Teori Konflik tentang Keluarga ( Engels ).
Friedrich Engelsdalam bukunya :” The Origin pf the family, Private propertyand the State (1884). Engels menyatakan bahwa sistem kapitalisme yang mengintensifkan dominasi laki-laki, sebab :
1.      Kapitalisme menciptakan kesejahteraan dengan memberdayakan laki-laki.
2.      Perluasan ekonomi kapitalis tergantung pada definisi perempuan sebagai konsumen.
2.      Mendukung laki-laki bekerja dipabrik dan perempuan bekerja di rumah.
    Munculnya kapitalisme dan patriarkhi ini membuat laki-laki mendominasi perempuan disegala bidang. Engels menganalisis kehidupan masyarakat kapitalis primitif sampai kapitalisme awal. Pada masa ini perempuan banyak berkerja disektor domestik akibatnya perempuan tidak memiliki nilai pasar karena sistem kapitalisme berkaitan dengan sistem pasar.

A.    Teori Konflik : Stratifikasi Jenis Kelamin Collins.

    Collins mempertanyakan mengapa stratifikasi jenis kelamin masih eksis ? jawaban dari pertanyaan ini berdasarkan dua fakta :
1.      Manusia memiliki dorongan yang kuat untuk gratifikasi seksual.
2.      Pada spesies manusia laki-laki lebih besar dan lebih kuat dari perempuan.
Perbedaan teori konflik Marx dan Collins :

                      Marx                                                                               Collins









Collins menawarkan konsep untuk memperbaiki posisi perempuan :
1.      Bagaimana cara kekuatan dapa diorganisir.
2.      Masyarakat memberlakukan perempuan dapat berusaha dalam bidang ekonomi dan ada kesimbangan kekuasaan berdsasarkan jenis kelamin.
Pekerjaan berkaitan dengan uang dan uang merupakan sumber utama prestise dan kekuasaan dalam masyarakat. Selain persoalan prestise dan kekuasaan, perempuan juga memiliki hak istimewa (privilege).
B.     Teori Konflik Analitik dari Chafetz.
Janet Chafetz menggunakan pendekatan lintas kultural dan lintas historisserta merumuskan teori gender dalm seluruh pola-pola kemasyarakatan.