Ada beberapa asumsi dasar dari
teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural
fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem
sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya
berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat
manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan.
Kemudian teorikonflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam
masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang
berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan
subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik
karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan
bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural
fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu
terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial
disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik
tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam
konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah
suatu konsensus.
1. Teori Konflik Karl
Marx
Pada saat itu Marx mengajukan
konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak
mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam
masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas
pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua
kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan
terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar,
yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga.
Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya
gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum
proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Konflik
merupakan pertentangan antara kelas borjuis melawan kelas proletar yang
memperebutkan sumber-sumber ekonomi (alat-alat produksi).
Karl Marx
menjelaskan bahwa masyarakat pada abad ke-19 di Eropa, terbagi menjadi 2 kelas
sosial yakni
a. Borjuis : pada jaman kolonialisme kaum pemilik modal
yaitu mereka yang memiliki alat-alat kerja/produksi misalnya pabrik, mesin, dan
tanah. Tetapi pada jaman modern, kaum borjuis adalah mereka yang memiliki
knowledge/keahlian khusus.
b.
Proletar :
kaum pekerja miskin.
Dalam sistem
produksi kapitalis kedua kelas tersebut saling ketergantungan namun tidak
seimbang. Kelas proletar tidak dapat hidup jika tidak bekerja. Sedangkan kelas
borjuis meskipun pabriknya tidak berjalan, ia masih dapat bertahan dari modal
yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja yakni dengan menjual pabriknya.
Dengan demikian kelas borjuis adalah kelas yang kuat, sedangkan kelas proletar
adalah kelas yang lemah. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur
sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar
dalam proses produksi. Dan pemilikan alat-alat produksi sebagai unsur pokok
pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx juga menjelaskan bahwa seluruh
keteraturan dalam masyarakat proletar disebabkan adanya pemaksaan oleh para penguasa
(borjuis). Faktor penyebab konflik adalah karena terjadi ketidak setaraan
sosial yang tinggi antara kaum borjuis & proletar.
Kelemahan
teori Marx : Teori kelas sosial dan
konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri) dan
tidak lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Hal ini
dikarenakan pekerjaan masyarakat semakin heterogen dan hak-hak dan kemakmuran
masyarakat mulai mengalami peningkatan.
2. Teori Konflik Ralf Dahrendorf.
Ralf Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial,
mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk
menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi
ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
Dahrendorf
membedakan kelompok yang terlibat konflik dalam dua tipe:
1.
Kelompok semu (quasi group), merupakan kumpulan dari
para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang
terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan.
2.
Kelompok kepentingan (interest group), yakni kelompok
kepeningan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.
Kelompok
kepentingan mempunyai struktur,
organisasi, program tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan
inilah yang menjadi sumber nyata timblnya konflik dalam maysarakat.
3. Teori Konflik Lewis
A Coser
Coser membedakan konflik dalam dua
bentuk :
1.
Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap
tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang
dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan
mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
- Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain - lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidak mampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Salah satu konsep
Coser adalah katup penyelamat (savety-valve). Coser melihat katup penyelamat
berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu
hubungan - hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
menajam. Katup Penyelamat ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat
dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem
atau struktur. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Coser bahwa Lewat Katup penyelamat itu permusuhan dihambat agar
tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian
mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan
untuk menyempurnakan system untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah
maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptaan kemungkinan
tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.
4. Teori Konflik John Galtung
Galtung berusaha
untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai terjadinya konflik. Kekerasan
dapat terjadi di mana saja. Mulai dari yang berkapasitas besar (perang),
kekerasan di keluarga, kekerasan dijalanan, hingga kekerasan di sekolah . Konsep
Segitiga Konflik Galtung memetakan
tipe-tipe kekerasan secara umum menjadi tiga kategori:
1.
direct violence (behavioral)
2. cultural violence
(social constructs)
3.
structural violence.
Masing-asing
dari kategori konflik diatas merepresentasikan masing-masing sudut dari “the
violence triangle” (segitiga kekerasan). Hal ini oleh Galtung dijelaskan dalam
“built-in vicious cycles” (struktur bagian siklus kekerasan).
Galtung
membagi struktur kekerasan ke dua kategori, yaitu :
1.
visible (nampak/konkrit) adalah kekerasan langsung
yang terjadi dengan ditandai
akibat-akibat yang kongkrit seperti pembunuhan dan penghancuran.
akibat-akibat yang kongkrit seperti pembunuhan dan penghancuran.
2.
invisible (tak nampak/abstrak) adalah konflik yang
melibatkan aspek kultural dan struktural.
kekerasan
kultural dan struktural menyebabkan kekerasan langsung yang melibatkan aktor
kekerasan yang memicu kekerasan struktural dengan menggunakan kultur untuk
melegitimasi penggunaan kekerasan sebagai instrumenya.
Kekerasan ini terjadi karena
“legitimasi” kultur yang digerakkan oleh aktor kekerasan melalui kekuatan
struktur masyarakat sehingga terciptalah kekerasan langsung . Konflik
dapat terjadi melalui kombinasi tiga komponen (Kombinasi ABC) yaitu
1.
attitude (sikap/berupa kebencian),
2. behavior
(perbuatan/berupa kekerasan), dan
3.
contradiction (isu)
Konflik memiliki “siklus hidup”-nya.
Siklus konflik dapat diamati mulai sebelum terjadinya konflik, pada saat
terjadinya konflik, dan setelah terjadinya konflik.
Pada fase 1 (sebelum terjadinya
konflik) digambarkan bahwa violence (kekerasan) dapat berakar pada violent
cultures (budaya kekerasan) yang menjustifikasi terhadap kekerasan itu sendiri
di dalam violent structural (struktural masyarakat yang membenarkan kekerasan)
yang berbentuk represif, ekploitasi, dan pengasingan yang diarahkan untuk
memecah kesatuan suatu masyarakat. Violent actor (aktor kekerasan) mengumpulkan
kekuatan untuk menunjukkan identitas dirinya dengan cara melakukan penyerangan
terhadap kelompok lainnya. Dengan kata lain bahwa budaya kekerasan yang
digerakkan oleh struktural yang melibatkan aktor kekerasan sebagai
pengendalinya
Pada fase 2 (selama terjadinya
konflik) digambarkan bahwa konflik yang terjadi sangat merugikan dan jika
dibiarkan lebih lama akan menjadi semakin sulit dihentikan. Oleh karena itu
penanganan konflik akan semakin baik jika diselesaikan lebih cepat. Hal ini
dikarenakan konflik dilakukan untuk menunjukkan harga diri tanpa
memperhitungkan potensi kemenangan atau kekalahan pada kedua belah pihak yang
bertikai. Penanganan konflik dapat dengan cara melibatkan militer, polisi, keahlian
non violent atau mediasi.
Pada fase 3 (setelah terjadinya
konflik) adalah fase dimana situasi ini harus ditangani dengan tepat. Hal ini
dikarenakan pada fase ini terdapat konseksuensi pasca kekerasan yang berupa
trauma, nafsu balas dendam, dsb.