Selasa, 30 Oktober 2012

KONFLIK SOSIAL


Ada beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis dari teori struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan.
Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teorikonflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.

1.      Teori Konflik Karl Marx
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke-19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri, menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Konflik merupakan pertentangan antara kelas borjuis melawan kelas proletar yang memperebutkan sumber-sumber ekonomi (alat-alat produksi).
Karl Marx menjelaskan bahwa masyarakat pada abad ke-19 di Eropa, terbagi menjadi 2 kelas sosial yakni
a. Borjuis       :   pada jaman kolonialisme kaum pemilik modal yaitu mereka yang memiliki alat-alat kerja/produksi misalnya pabrik, mesin, dan tanah. Tetapi pada jaman modern, kaum borjuis adalah mereka yang memiliki knowledge/keahlian khusus.
b. Proletar      :   kaum pekerja miskin.
Dalam sistem produksi kapitalis kedua kelas tersebut saling ketergantungan namun tidak seimbang. Kelas proletar tidak dapat hidup jika tidak bekerja. Sedangkan kelas borjuis meskipun pabriknya tidak berjalan, ia masih dapat bertahan dari modal yang dikumpulkannya selama pabriknya bekerja yakni dengan menjual pabriknya. Dengan demikian kelas borjuis adalah kelas yang kuat, sedangkan kelas proletar adalah kelas yang lemah. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Dan pemilikan alat-alat produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Marx juga menjelaskan bahwa seluruh keteraturan dalam masyarakat proletar disebabkan adanya pemaksaan oleh para penguasa (borjuis). Faktor penyebab konflik adalah karena terjadi ketidak setaraan sosial yang tinggi antara kaum borjuis & proletar.
Kelemahan teori Marx  : Teori kelas sosial dan konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri) dan tidak lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Hal ini dikarenakan pekerjaan masyarakat semakin heterogen dan hak-hak dan kemakmuran masyarakat mulai mengalami peningkatan.

2.      Teori Konflik Ralf Dahrendorf.
Ralf Dahrendorf mula-mula melihat teori konflik sebagai teori parsial, mengenggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
Dahrendorf membedakan kelompok yang terlibat konflik dalam dua tipe:
1.      Kelompok semu (quasi group), merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan.
2.      Kelompok kepentingan (interest group), yakni kelompok kepeningan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas.
Kelompok kepentingan  mempunyai struktur, organisasi, program tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timblnya konflik dalam maysarakat.

3.      Teori Konflik Lewis A Coser
Coser membedakan konflik dalam dua bentuk :
1.      Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  1. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain - lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidak mampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Salah satu konsep Coser adalah katup penyelamat (savety-valve). Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan - hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam.  Katup Penyelamat  ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.  Katup penyelamat merupakan sebuah institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.  Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser bahwa Lewat Katup penyelamat itu permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan system untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptaan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.

4.      Teori Konflik John Galtung
Galtung berusaha untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai terjadinya konflik. Kekerasan dapat terjadi di mana saja. Mulai dari yang berkapasitas besar (perang), kekerasan di keluarga, kekerasan dijalanan, hingga kekerasan di sekolah . Konsep  Segitiga Konflik Galtung memetakan tipe-tipe kekerasan secara umum menjadi tiga kategori:
1.      direct violence (behavioral)
2.      cultural violence (social constructs)  
3.      structural violence.
Masing-asing dari kategori konflik diatas merepresentasikan masing-masing sudut dari “the violence triangle” (segitiga kekerasan). Hal ini oleh Galtung dijelaskan dalam “built-in vicious cycles” (struktur bagian siklus kekerasan).
Galtung membagi struktur kekerasan ke dua kategori, yaitu :
1.      visible (nampak/konkrit) adalah kekerasan langsung yang terjadi dengan ditandai
akibat-akibat yang kongkrit seperti pembunuhan dan penghancuran.
2.      invisible (tak nampak/abstrak) adalah konflik yang melibatkan aspek kultural dan struktural.
kekerasan kultural dan struktural menyebabkan kekerasan langsung yang melibatkan aktor kekerasan yang memicu kekerasan struktural dengan menggunakan kultur untuk melegitimasi penggunaan kekerasan sebagai instrumenya.
Kekerasan ini terjadi karena “legitimasi” kultur yang digerakkan oleh aktor kekerasan melalui kekuatan struktur masyarakat sehingga terciptalah kekerasan langsung . Konflik dapat terjadi melalui kombinasi tiga komponen (Kombinasi ABC) yaitu
1.      attitude (sikap/berupa kebencian),
2.      behavior (perbuatan/berupa kekerasan), dan
3.      contradiction (isu)
Konflik memiliki “siklus hidup”-nya. Siklus konflik dapat diamati mulai sebelum terjadinya konflik, pada saat terjadinya konflik, dan setelah terjadinya konflik.
Pada fase 1 (sebelum terjadinya konflik) digambarkan bahwa violence (kekerasan) dapat berakar pada violent cultures (budaya kekerasan) yang menjustifikasi terhadap kekerasan itu sendiri di dalam violent structural (struktural masyarakat yang membenarkan kekerasan) yang berbentuk represif, ekploitasi, dan pengasingan yang diarahkan untuk memecah kesatuan suatu masyarakat. Violent actor (aktor kekerasan) mengumpulkan kekuatan untuk menunjukkan identitas dirinya dengan cara melakukan penyerangan terhadap kelompok lainnya. Dengan kata lain bahwa budaya kekerasan yang digerakkan oleh struktural yang melibatkan aktor kekerasan sebagai pengendalinya
Pada fase 2 (selama terjadinya konflik) digambarkan bahwa konflik yang terjadi sangat merugikan dan jika dibiarkan lebih lama akan menjadi semakin sulit dihentikan. Oleh karena itu penanganan konflik akan semakin baik jika diselesaikan lebih cepat. Hal ini dikarenakan konflik dilakukan untuk menunjukkan harga diri tanpa memperhitungkan potensi kemenangan atau kekalahan pada kedua belah pihak yang bertikai. Penanganan konflik dapat dengan cara melibatkan militer, polisi, keahlian non violent atau mediasi.
Pada fase 3 (setelah terjadinya konflik) adalah fase dimana situasi ini harus ditangani dengan tepat. Hal ini dikarenakan pada fase ini terdapat konseksuensi pasca kekerasan yang berupa trauma, nafsu balas dendam, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar